KESENIAN
SUKU ASMAT
Suku Asmat adalah satu suku
yang mendiami wilayah Papua di Irian Jaya, di Timur Indonesia. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal
di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini
saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Suku Asmat dengan tombak & perisai mereka
Populasi
pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang
berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai. Beberapa
Suku Asmat yang mendiami daerah yang jauh dari pesisir, membangun rumah di atas
puncak-puncak pohon, sekitar 30 meter di atas permukaan tanah. Bahkan, ada pula
yang masih hidup secara nomaden.
Baju Adat
Suku
Asmat menyimpan banyak kesenian yang unik. Mereka memiliki baju adat sendiri
yang kita kenal dengan Koteka. Koteka ini terbuat dari kulit labu. Bentuknya
panjang dan sempit. Berfungsi untuk menutupi organ reproduksi kaum lelaki.
Begitu juga dengan koteka untuk perempuannya, sama-sama bertelanjang dada
seperti lelakinya dan mengenakan rok yang terbuat dari akar tanaman kering
untuk menutupi organ reproduksinya.
Seni ukir/ pahat
Ragam kesenian suku Asmat yang banyak dilakukan adalah
seni pahat/ ukir.Benda-benda kesenian hasil ukiran Asmat
yang menarik adalah perisai-perisai,tiang-tiang mbis (patung
bis/ leluhur), dan tifa. Di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan
atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran Suku Asmat. Sehingga pada
masing-masing ukiran hasil karya suku Asmat selalu mengandung pesan untuk
menghargai nenek moyangnya yang disampaikan secara tersirat lewat simbol-simbol
motif dalam ukiran tersebut.
Seorang dari suku Asmat tengah membuat ukiran kayu
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa.
Bagi Suku Asmat, di saat mengukir patung adalah saat di mana mereka
berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam lain. Hal itu dimungkinkan karena
mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang),
Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar
(surga).
Beberapa ukiran kayu oleh suku Asmat
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah
orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa
penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta
menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta
seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta
ulat-ulat sagu. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral.
Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi,
masing-masing:
1.
Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
2. Untuk menyatakan rasa sedih dan
bahagia;
3. Sebagai suatu lambang kepercayaan
dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan
benda-benda lain;
benda-benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran
ingatan kepada nenek moyang.
Aneka
warna gaya kesenian Asmat berdasarkan bentuk dan warna dapat diklasifikasikan
ke dalam 4 daerah :
a) Hiasan
ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian belakang perahu,
datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah,dll.
datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah,dll.
b) Gaya
Seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat) Perisai pada golonganini berbentuk
lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan biasanya lebih padat dari pada
perisai-perisai lainnya. Bagian kepalaterpisah dengan jelas dari bagian
lainnya dan berbentuk kepala kura-kuraatau
ikan. Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal,sedangkan
hiasan bagian badan berbentuk musang terbang, katak, kepala burung tanduk, ualr, dll.
c) Gaya
seni Asmat Timur (Citak)Kekhususan seni pada golongan ini tampak pada bentuk
hiasan perisaiyang biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai
melebihitinggi orang Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya tidak terpisah secara jelas dari bagian badan perisai
dan sering terisi dengangaris-garis hitam atau merah yang diberi
titik-titik putih.
d) Gaya
seni Asmat daerah sungai BrazzaPerisai pada golongan ini hampir sama besar dan
tinggi dengan perisai pada golongan Asmat Timur. Bagian kepala juga
biasanya terpisah dari bagian badannya. Walaupun motif sikulengan sering
dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa digunakan adalah motif
geometri, lingkaran,spiral, siku-siku, dll.
Seni ukir suku Asmat ini amat populer hingga mancanegara. Banyak wisatawan yang
mengagumi kesenian suku Asmat ini. Suku Asmat mengerti bahwa ukiran mereka
memiliki nilai jual yang tinggi. Maka dari itu, banyak hasil ukirannya mereka
jual. Biasanya kisaran harganya dari mulai seratus tribu sampai dengan jutaan
rupiah.
Suku
Asmat adalah seniman sejati. Patung kayu hasil kerajinan mereka diakui dunia
internasional sebagai hasil karya seni berkelas tinggi. Darah seni ini mengalir
dengan tanpa sengaja karena dalam kehiduan sehari-hari mereka menggunakan
peralatan yang berhubungan dengan kayu. Suku ini mendiami daerah Teluk Flamingo
dan Teluk Cook, di wilayah pantai sebelah barat daya Papua.
Kehidupan modern tidak mencapai wilayah ini kecuali beberapa tahun terakhir. Sebagian besar wilayah ini masih berupa wilayah hutan lebat yang belum dirambah manusia. Meski demikian nasib para seniman sejati tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir tahun enam puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi upaya mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa mengunjungi museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil kerajinan mereka.
Kehidupan modern tidak mencapai wilayah ini kecuali beberapa tahun terakhir. Sebagian besar wilayah ini masih berupa wilayah hutan lebat yang belum dirambah manusia. Meski demikian nasib para seniman sejati tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir tahun enam puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi upaya mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa mengunjungi museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil kerajinan mereka.
Adapun
peralatan yang biasanya digunakan para pemahat Suku Asmat terdiri dari kapak
batu, gigi binatang dan kulit kerang. Sedangkan untik menghaluskan patahan,
mereka menggunakan taring babi, gigi-gigi ikan tertentu dan tiram.
Simbol-simbol (lambang)
yang dipercayai/ digunakan
a. Simbol
manusia dan burung pada perahu.
Orang Asmat biasa
membuat ukiran di ujung perahu yang digunakannya. Ukiran tersebut bersimbol manusia dan burung.
Ukiran yang berbentuk manusia itu
melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka percaya bahwa
almarhum akan senang karena diperhatikan, dankemanapun perahu dan penumpangnya
pergi akan selalu dilindunginya.
Ukiran burung dan binatang terbang
lainnya dianggap melambangkanorang yang gagah berani dalam pertempuran
dan lambang burung jugadigunakan sebagai lambang pengayauan, terutama
burung atau binatangterbang yang berwarna gelap atau hitam.
b. Hiasan
Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol
burung kasuari atau kuskus.Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan
mata burung kakatua hitam bila
sedang marah. Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus merupakan lambang dari
si pengayau kepala yang perkasa.
c. Pohon
Orang Asmat menyebut
dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon.Pohon merupakan benda yang amat luhur
dalam pandangan orang Asmat.Dalam pandangan
mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon
melambangkan kaki manusia, batangnya adalah tubuhmanusia, dahan-dahannya
adalah tangan manusia, dan daun-daun adalahkepala manusia. Semua anggapan itu
memiliki alasan yang mendasar.Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa
dan berlumpur menyebabkan
pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orangAsmat.
d. Sagu
Sagu selain
dijadikan bahan makan oleh masyarakat Asmat, sagu juga memilki arti khusus
tersendiri bagi orang Asmat. Sagu diibaratkansebagai wanita. Suatu kehidupan
dipercaya oleh orang Asmat keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan
keluar dari rahim seorang ibu.
Kepercayaan
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali
pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan
jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur,
kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu
spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai
pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan
pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan
kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di
tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Alat-alat produktif
Orang Asmat telah
memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki
kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu.
Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya
pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk
kemudian ditarik bersama-sama.Pekerjaan ini
tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan
memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada
waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat
tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan
kulit siput yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu
merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang
hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama
sesuai dengan nama leluhurnya, bisanyanama
nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang
sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau.
Untuk menghaluskan dan memotong masih
digunakan kulit siput.
Alat transportasi dan perlengkapannya
Masyarakat Asmat mengenal perahu
lesung sebagai alat transportasinya. Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk
persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu
tersebut dicoba menuju ketempat musuh dengan maksud memanas-manasi musuh
dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Selain itu, perahu lesung juga digunakan
untuk keperluan pengangkutan dan
pencarian bahan makanan. Setiap 5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat
perahu-perahu baru. Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun
pembuatan perahu mereka memilih
jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak.Yang digunakan adalah kayu
kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut
yerak.Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan keduaujungnya,
batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu.
Untuk membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses
pembuatan perahu dari bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat
meliputi beberapatahap. Pertama, batang yang masih kasar dan bengkok
diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput,
sama halnya dengan bagianluar. Bagian bawah perahu dibakar supaya perahu
menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian muka perahu disebut cicemen,
diukir menyerupai burung atau binatang lainnya perlambang
pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan
saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan sesuai dengan nama
saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahumencapai 15-20 meter. Setelah
semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pundi cat. Bagian dalam dicat putih,
bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan dahun
sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu harusdiresmikan melalui upacara.Ada
2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yangtidak
terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu
clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter.Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama,
misalnya kayu besi atau kayu pala hutan. Karena dipakaisambil berdiri, maka
dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh
setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi
dengan rawa-rawa.
Sistem Mata pencaharian
Mata pencaharian
hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu sagu, berburu
binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan mencari ikan disungai,
danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga terkadang menanam buah- buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang
mereka juga dengan sengajamenanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana
berada di tengah-tengahhutan. Orang Asmat
hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi,
lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya. Dahulu,
orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat untuk beberapa bulan, kemudian pidanh mencari
tempat baru bila bahan makanan disekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan
berarti hidup bebas, maka hal inilahyang membuat mereka terkadang kembali ke
hutan meninggalkan kampung yang telah disediakan. Hari Senin mereka biasa
berangkat ke hutan dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Sebagian besar waktu
dilewati di hutan dengan mendirikan rumah besar,yang disebut dengan Bivak.
Tempat berlindung dan
perumahan
Rumah Bujang suku Asmat
Menurut tradisi
orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2 macam bangunan, yaitu rumah
bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (je) ditempati oleh pemuda-pemuda yang
belum menikah dan tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah yang
terdiri dari satu ruangan inidibangun di atas tiang-tiang
kayu dengan panjang 30-60 meter dan lebar sekitar 10 meter.
Rumah ini biasa digunakan untuk merencanakan suatu pesta, perang,dan
perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan untuk menceritakan
dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap clan memiliki rumah bujang
sendiri.
Keluarga suku Asmat sedang berada di rumah Keluarga
Sedangkan rumah
keluarga, biasanya didiami oleh satu keluarga inti yang terdiridari seorang ayah,
seorang atau beberpa istri, dan anak-anaknya. Setiap istrimemiliki dapur,
pintu, dan tangga sendiri. Lima tahun sekali, rumah-rumahtersebut diperbaharui oleh kaum pria. Perumahan
yang dibangun menyerupairumah panggung, kira-kira satu setengah meter dari atas
tanah. Atap rumahterbuat dari anyaman daun sagu, gaba-gaba sagu
membentuk dinding rumah,dan lantai
tertutupi tikar yang terbuat dari daun sagu juga.Kemudian, di hutan orang Asmat
biasa mendirikan semacam rumah besar, bernama bivak. Bivak merupakan
tempat tinggal sementara bagi orang Asmatdisaat mereka mencari
bahan makanan di hutan.
Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan
orang Asmat termasuk kelompok bahasa yangoleh para ahli linguistik disebut
sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan
Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dandigolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965)
menjadi filum bahasa-bahasa Irian(Papua)
Non-Melanesia.
Senjata
Perisai digunakan
oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh dalam
peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Senjata ini
terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yanglunak dan ringan. Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras
seperti kayu besi atau kulit pohon sagu.
Ujungya
yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku
burung kasuari.
Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa
jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari
dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias
untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri
seperti burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan
pada burung.
Untuk
hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau kuskus. Sekeliling
matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatuahitam bila sedang marah. Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang
dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung
terbuat dari semacam keong laut, atau kadang-kadang
terbuat dari tulang manusia atau tulang babi. Anting-anting wanita
terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk dijadikan kalung penghias leher.
Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga
anjing tersebut mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi
bagi mereka, dan sering dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi
keluarga pihak wanita
Seni Musik
Orang
Asmat memiliki alat musik khusus yang biasa digunakan dalam upacara-upacara
penting. Alat musik yang biasa digunakan oleh orang Asmat adalah tifa yang
terbuat dari selonjor batang kayu yang dilobangi. Bentuknya bulat
memanjang mirip seperti gendang. Pahatan tifa
berbentuk pola leluhur atau binatang yang dikeramatkan. Di permukaan tifa
terdapat ukiran, menggambarkan lambang yang diambil dari patung Bis. Patung Bis
adalah patung yang dianggap sakral oleh suku Asmat. Patung bis menggambarkan rupa dari
anggota keluarga yang telah meninggal. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit
kadal dan kulit tersebut diikat dengan
rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama sesuai dengan orang yang telah
meninggal. Tifa-tifa ini biasa diukir dan dipahat oleh wow-ipits
setempat. Tifa ini biasa dimainkan
untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yaitu Tari Tobe atau yang
disebut dengan Tari Perang.
Seni Tari
Orang-orang Asmat kerap kali
melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu saat upacara sakral
berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis dandinamis yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan
di depan rumah bujang (Je) dalam rangka upacara mbis. Tari Tobe sering
dimainkan saat ada upacara adat seperti itu. Tarian ini dilakukan oleh 16 orang
penari laki-laki dan 2 orang penari perempuan. Dengan gerakan yang melompat
atau meloncat diiringi irama tifa dan lantunan lagu-lagu yang mengentak,
membuat tarian ini terlihat sangat bersemangat.
Tarian ini memang dimaksudkan untuk
mengobarkan semangat para prajurit untuk pergi ke medan perang.
Kebudayaan suku Asmat masih
tergolong asli dan belum tergerus oleh arus modernisasi. Kebudayaan mereka
sangat unik. Adalah tugas kita sebagai rakyat Indonesia untuk melestarikan
kekayaan budaya yang berlimpah dengan cara mempelajarinya dan menyaksikan
pertunjukan-pertunjukan seni daerah di pusat-pusat adat dan kebudayaan yang
tersebar di seluruh Indonesia.
J THE END J